Latar
Belakang Kecerdasan Majemuk
Terdapat beberapa perbedaan pendekatan
dalam memahami istilah kecerdasan. Pandangan psikometrik merupakan pandangan
yang paling tradisional. Menurut pandangan ini, terdapat hanya satu kecedasan
yang sering disebut dengan kecerdasan umum (general intelligences). Setiap
individu dilahirkan dengan suatu kecerdasan tertentu yang paling menonjol dan
sulit diubah. Para psikolog dapat mengukur intelegensi (IQ) seseorang melalui
tes jawaban pendek, atau dengan mengukur waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
bereaksi terhadap kilatan cahaya atau keberadaan pola gelombang otak tertentu
(Gardner dalam Hernández, 2010).
Akan tetapi
ternyata hasil tes IQ tersebut tidak memuaskan sehingga para peneliti
mengembangkan beberapa alternatif teori yang kesemuanya menyatakan bahwa
kecerdasan merupakan hasil dari sejumlah kemampuan yang berkontribusi terhadap
kinerja manusia.
Pada tahun
1983, seorang peneliti dan profesor di Universitas Harvard, Howard Gardner
mengajukan sebuah sudut pandang baru mengenai kecerdasan. Dalam bukunya “Frames
of Mind” Gardner menemukakan teorinya yang disebut dengan multiple
intelligences (MI) atau kecerdasan majemuk. Gardner dalam teori kecerdasan
majemuknya, mengemukakan bahwa kecerdasan manusia mempunyai banyak dimensi yang
harus diakui dan dikembangkan dalam pendidikan. Ia menganggap bahwa tes IQ
hanya mengukur kemampuan logika dan bahasa, tanpa tipe kecerdasan lainnya yang
juga penting. Gardner mendefinisikan kecerdasan sebagai sebuah potensi
biopsikologis. Kecerdasan tidak dapat dilihat atau dihitung.
Kecerdasan
merupakan proses informasi yang dapat diaktifkan dalam sebuah latar kultural
tertentu untuk menyelesaikan masalah atau membuat produk yang bernilai dalam
masyarakat tersebut. Aktivasi potensial ini bergantung pada nilai suatu budaya,
dan kesempatan berkembang dalam budaya tersebut. Teori MI tidak hanya
bermanfaat bagi perkembangan peserta didik. Guru yang mengetahui kecerdasannya
sendiri yang menonjol akan lebih dapat mengajar dengan lebih efektif karena
menemukan gaya mengajar yang paling sesuai. Sebaliknya kadang-kadang peserta
didik dapat membantu guru dengan kecerdasan yang dimilikinya yang tidak
dimiliki oleh guru.
Kriteria
Untuk Mengidentifikasi Kecerdasan
Berdasarkan
pengembangan MI dan pengkarakteran kecerdasan yang luas, Gardner tidak berfokus
pada pembuatan dan interpretasi instrumen. Akan tetapi ia menyimpulkan penemuan
penelitiannya dari biologi evolusi, neurosains, antropologi, serta penelitian
psikometrik. Melalui sintesis penelitian yang relevan dengan penelitiannya,
Gardner dalam Amstrong (2009) menetapkan beberapa kriteria untuk
mengidentifikasi kecerdasan yang unik. Kriteria kecerdasan tersebut
yaitu.
1.
Isolasi potensial oleh
kerusakan otak. Meskipun seseorang mengalami kesulitan berbicara, membaca dan
menulis karena kerusakan otak yang bertanggungjawab terhadap kecerdasan
linguistik, ia tetap masih dapat menyanyi, berhitung, menari dan sebagainya.
Kecerdasan yang diajukan oleh Gardner merupakan sistem yang otonom.
2.
Adanya savant (individu
yang menunjukkan kemampuan yang lebih sedangkan satu atau beberapa kecerdasan
lainnya berada pada tingkat yang rendah), prodigy*, dan individu yang
memiliki kemampuan yang luar biasa lainnya.
3.
Setiap kecerdasan
memiliki waktu kemunculan dan perkembangan.
4.
Sejarah evolusioner
dan evolusi yang masuk akal. Setiap kecerdasan memiliki bukti historis, seperti
spasial dapat ditemukan pada gambar dalam gua kuno, irama terbang serangga
ketika mencari bunga, musikal melalui instrumen musik kono, dan sebagainya
5.
Dukungan dari temuan
psikometri.
6.
Dukungan eksperimen
psikologi.
7.
Inti operasi atau
rangkaian operasi yang teridentifikasi seperti halnya sebuah program komputer
yang membutuhkan serangkaian cara kerja dasar agar dapat berfungsi menggerakkan
kegiatan yang khas pada setiap kecerdasan. Misalnya kinestetik yang memiliki
cara kerja dasar mampu menirukan gerakan fisik, mampu menguasai gerak rutin
motorik halus dalam menyusun bangunan.
8.
Kemudahan pengkodean
dalam sistem simbol. Masing-masing kecerdasan memiliki simbol masing-masing
yang unik. Contohnya untuk kecerdasan linguistik terdapat sejumlah bahasa lisan
dan tulisan seperti Inggris, Prancis dan Spanyol.
Identifikasi Kecerdasan
Ada dua cara pengumpulan
informasi untuk mengidentifikasi kecerdasan, yaitu dengan menggunakan data
objektif dan data subjektif. Identifikasi melalui penggunaan data objektif
diperoleh melalui antara lain :
1.
skor tes
inteligensi individual
2.
skor tes
inteligensi kelompok
3.
skor tes
akademik
4.
skor tes
kreativitas
Sedangkan identifikasi
melalui penggunaan data subjektif diperoleh dari :
1.
ceklis
perilaku
2.
nominasi
oleh guru
3.
nominasi
oleh orang tua
4.
nominasi
oleh teman sebaya dan
5.
nominasi
oleh diri sendiri
Untuk melakukan
identifikasi dengan menggunakan data objektif seperti tes inteligensi
individual, tes inteligensi kelompok dan tes kreativitas, pihak sekolah dapat
menghubungi Fakultas Psikologi yang ada di kota masing-masing maupun Kantor
Konsultan Psikologi. Sedangkan untuk memperoleh skor tes akademik, sekolah
dapat melakukannya sendiri. Biasanya prestasi akademik yang dilihat dari anak
berbakat intelektual adalah dalam mata pelajaran : Bahasa Indonesia, bahasa
Inggris, Matematika, Pengetahuan Sosial, Sains (Fisika, Biologi, dan Kimia).
Untuk pengumpulan informasi
melalui data subjektif, sekolah dapat mengembangkan sendiri dengan mengacu pada
konsepsi dan ciri (indikator) keberbakatan yang terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar